Tagar #KaburAjaDulu tengah ramai menghiasi linimasa media sosial, terutama di kalangan anak muda Indonesia. Ungkapan ini mencerminkan keresahan, kejenuhan, dan kadang kelucuan dalam menyikapi situasi sosial, politik, atau ekonomi yang dirasa makin berat. Banyak warganet menggunakan tagar ini untuk mengekspresikan keinginan mereka ‘kabur’ ke luar negeri, baik secara serius maupun sebagai bentuk satir.
Berawal dari Kegalauan, Jadi Tren Nasional
Fenomena ini berawal dari unggahan-unggahan ringan yang menyebut negara lain sebagai “tempat pelarian”, mulai dari Jepang, Selandia Baru, hingga Kanada. Banyak yang menyertakan foto paspor, pemandangan luar negeri, atau bahkan tangkapan layar hasil pencarian “cara pindah warga negara”.
Meski terkesan bercanda, tagar ini menyentuh isu serius yang dirasakan masyarakat, seperti tekanan hidup, ketidakpastian pekerjaan, harga kebutuhan yang naik, hingga suasana sosial yang makin panas.
Antara Humor, Kritik, dan Realita
#KaburAjaDulu menjadi simbol dari perasaan campur aduk: frustrasi, lelah, tapi tetap ingin menertawakan keadaan. Tak sedikit yang menjadikan tagar ini sebagai bentuk kritik sosial yang dibungkus dalam humor.
Beberapa konten kreator bahkan menjadikan tren ini sebagai bahan sketsa, parodi, atau tips satir “bagaimana kabur yang efektif”, yang justru semakin menaikkan tagar tersebut ke jajaran trending topic.
Psikolog: Bentuk Katarsis Kolektif
Pakar melihat fenomena ini sebagai bentuk katarsis kolektif, di mana masyarakat mencoba meluapkan tekanan emosional lewat humor di media sosial. Meski tidak semua yang menulis #KaburAjaDulu benar-benar berniat pindah, tren ini memperlihatkan adanya keresahan yang nyata di tengah masyarakat urban.
#KaburAjaDulu bukan sekadar tren iseng, tapi cerminan keresahan publik yang dikemas dengan cara kreatif dan lucu. Lewat humor dan satire, masyarakat menemukan cara untuk meluapkan emosi sekaligus menyuarakan harapan akan perubahan yang lebih baik.
Jika kalian ingin tau berita terkini lain nya bisa cek juga di jalanjalanindonesia