liburanyuk.org Bagi kebanyakan orang, liburan romantis berarti menghabiskan waktu berdua tanpa terpisahkan. Namun, tren baru yang muncul dari pasangan modern justru membalik pandangan itu. Fenomena yang disebut “airport divorce” menjadi cara unik bagi pasangan untuk menjaga hubungan tetap harmonis — bahkan sebelum liburan dimulai.
Istilah ini diperkenalkan oleh Huw Oliver, seorang jurnalis perjalanan asal Inggris. Ia mengaku punya kebiasaan berbeda dengan tunangannya saat berada di bandara. Oliver suka datang lebih awal untuk bersantai di lounge dan membaca koran, sementara pasangannya lebih menikmati waktu dengan berbelanja dan menikmati koktail di duty-free.
Perbedaan itu sempat membuat keduanya bertengkar kecil. Namun, alih-alih mencoba menyesuaikan kebiasaan masing-masing, mereka memutuskan untuk melakukan hal yang justru tak biasa: berpisah sementara di bandara.
Apa Itu “Airport Divorce”?
Meskipun namanya terdengar ekstrem, “airport divorce” bukanlah perceraian sungguhan. Istilah ini digunakan secara metaforis untuk menggambarkan perpisahan sementara pasangan sebelum naik pesawat, agar keduanya bisa menikmati waktu dengan cara masing-masing.
Pasangan yang menerapkan konsep ini biasanya memiliki gaya liburan yang berbeda. Ada yang perfeksionis dan terencana, sementara yang lain lebih santai dan spontan. Perbedaan inilah yang sering memicu konflik kecil di awal perjalanan.
Dengan menerapkan “airport divorce”, mereka memilih untuk tidak saling mengganggu rutinitas satu sama lain di bandara. Setelah check-in dan melewati pemeriksaan keamanan, keduanya bebas melakukan hal yang disukai. Mereka baru kembali bersama saat waktu boarding tiba.
Hasilnya? Perjalanan menjadi lebih tenang, menyenangkan, dan bebas drama.
Psikologi di Balik “Berpisah Sementara”
Menurut sejumlah psikolog hubungan, tren ini menggambarkan kebutuhan pasangan modern akan ruang pribadi, bahkan di tengah hubungan yang harmonis. Banyak pasangan kini menyadari bahwa kebahagiaan tidak selalu berarti melakukan semua hal bersama.
Dr. Elizabeth Gordon, seorang pakar psikologi sosial asal London, menjelaskan bahwa “airport divorce” adalah bentuk kedewasaan emosional. “Ketika seseorang bisa merasa nyaman berpisah sebentar dari pasangannya tanpa merasa kehilangan koneksi, itu tanda hubungan yang sehat,” ujarnya.
Dalam konteks ini, ruang pribadi justru memperkuat keintiman. Setelah memiliki waktu untuk diri sendiri, pasangan akan kembali dengan energi dan semangat baru.
Menghindari Drama Klasik Saat Liburan
Siapa pun yang pernah bepergian dengan pasangan pasti tahu bahwa liburan bisa menjadi ujian kesabaran. Dari perbedaan cara packing, selera makanan, hingga waktu datang ke bandara, semuanya bisa memicu pertengkaran kecil.
Bagi Oliver dan pasangannya, bandara sering kali menjadi tempat paling stres sebelum perjalanan dimulai. Ia tipe yang ingin semuanya terencana dengan rapi, sementara pasangannya lebih santai dan spontan.
Dengan menerapkan “airport divorce”, keduanya kini bisa menikmati waktu sesuai gaya masing-masing tanpa saling menekan. “Saya menikmati kopi dan membaca koran di lounge, sementara dia jalan-jalan ke toko kosmetik. Kami bertemu lagi saat boarding, sama-sama bahagia,” tulis Oliver dalam artikelnya.
Tren yang Mewakili Gaya Hidup Pasangan Modern
Tren ini cepat menyebar di media sosial, terutama di kalangan pasangan muda yang sering traveling. Banyak yang mengaku bahwa konsep “airport divorce” membantu mereka menghindari perdebatan tak perlu di awal liburan.
Di TikTok dan Instagram, pengguna berbagi pengalaman serupa dengan tagar seperti #airportdivorce atau #travelcouplelife. Beberapa mengatakan bahwa perpisahan singkat ini membuat hubungan mereka lebih santai, karena masing-masing bisa melakukan hal yang mereka sukai tanpa rasa bersalah.
Sosiolog modern melihat tren ini sebagai refleksi dari hubungan yang lebih egaliter dan fleksibel. Dalam hubungan seperti ini, keintiman tidak diukur dari seberapa lama seseorang bersama pasangannya, tetapi dari kemampuan saling menghargai ruang pribadi.
Menjaga Keseimbangan Antara “Kita” dan “Aku”
Salah satu pelajaran penting dari tren “airport divorce” adalah bahwa hubungan yang sehat tidak selalu berarti kebersamaan tanpa jeda. Justru keseimbangan antara “kita” dan “aku” menjadi kunci agar cinta tetap tumbuh.
Psikolog hubungan menyarankan agar pasangan tidak takut memberi ruang. Waktu pribadi dapat menjadi momen refleksi, relaksasi, dan kesempatan untuk menyalurkan minat pribadi yang mungkin berbeda dari pasangan.
Ketika dua individu merasa bahagia secara mandiri, mereka lebih mampu membawa energi positif ke dalam hubungan. Dalam konteks liburan, hal ini bisa menghindarkan pasangan dari konflik kecil yang biasanya muncul karena stres perjalanan.
Bisa Diterapkan di Kehidupan Sehari-hari
Meski berasal dari kebiasaan di bandara, filosofi “airport divorce” bisa diterapkan di kehidupan sehari-hari. Misalnya, dengan memberi pasangan waktu untuk menekuni hobi, bertemu teman, atau sekadar menikmati waktu sendiri di rumah tanpa gangguan.
Alih-alih merasa ditinggalkan, langkah ini menunjukkan kepercayaan dan penghormatan terhadap kemandirian satu sama lain. Ketika waktu berkualitas bersama tiba, hubungan terasa lebih ringan dan tulus karena masing-masing sudah mendapat ruang untuk bernapas.
Liburan Tanpa Drama Adalah Pilihan
Tren “airport divorce” membuktikan bahwa hubungan yang bahagia tidak harus selalu penuh kelekatan. Terkadang, jarak kecil justru mempererat kedekatan. Dengan memberi ruang pada pasangan untuk menjadi dirinya sendiri, kita tidak hanya menghargai kebebasan, tetapi juga memperkuat rasa saling percaya.
Jadi, jika kamu berencana liburan dengan pasangan dalam waktu dekat, mungkin ini saatnya mencoba konsep baru ini. Tidak perlu takut terlihat aneh. Nikmati waktu sesuai ritmemu masing-masing di bandara, lalu temui pasanganmu di gerbang keberangkatan dengan senyum yang lebih lepas.
Siapa tahu, justru dengan berpisah sejenak, hubunganmu jadi lebih dekat dari sebelumnya — dan liburan pun bebas dari drama.

Cek Juga Artikel Dari Platform monitorberita.com